Kamis, 09 Oktober 2014

Orang Tua & Kecerdasan Emosi

Menjadi orang tua yang baik memerlukan kecerdasan emosi yang tinggi. Kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk menjadi orang tua yang baik. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasan intelektual umumnya hanya menyumbangkan 20% dari kesuksesan di bidang apapun, termasuk dalam mendidik anak. Hal tersebut dikarenakan, kecerdasan intelektual tidak ada gunanya bila seseorang dikuasai emosi, bukan dikuasai oleh akal sehat dimana intelektual berperan. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk menguasai kecerdasan emosi.

Salah satu bentuk kecerdasan emosi yang perlu dikuasai oleh orang tua adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan secara proporsional. Karena untuk memiliki kehidupan emosional yang sehat, emosi tidak boleh terlalu ditekan, melainkan perlu dikeluarkan dengan cara yang baik dan dapat diterima oleh orang lain. Misalnya, ketika orang tua merasa marah sekali kepada anak, bila orang tua memiliki bentuk kecerdasan emosi yang baik maka ia akan mampu untuk mengungkapkan perasaannya apa adanya kepada anak dengan cara yang baik dan dapat dimengerti oleh anak. Misalnya, dengan mengatakan “Papa/mama kecewa sekali dengan perbuatan kamu tadi sehingga papa/mama tidak bisa berpikir dengan baik sekarang. Papa/mama mau menenangkan diri dulu supaya dapat menentukan konsekuensi yang pas untuk kamu”.

Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri adalah bentuk kecerdasan emosi lainnya yang perlu dikuasai orang tua. Hal tersebut disebabkan, motivasi merupakan penggerak perilaku. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan perubahan-perubahan positif, sangat diperlukan motivasi yang tinggi. Banyak orang memandang motivasi seperti obat sekali makan, yang begitu diminum akan efektif terus untuk selama-lamanya. Kenyataannya tidak demikian. Seseorang bisa saja termotivasi pada suatu hari dan motivasi tersebut menurun beberapa hari kemudian. Sesungguhnya, menjaga motivasi dapat dianalogikan dengan menjaga kebersihan diri, perlu dipelihara secara berkala. Sama seperti seseorang perlu mandi setiap hari untuk menjaga kebersihan diri, demikian pula ia juga perlu memotivasi dirinya setiap hari untuk menjaga agar motivasinya tetap tinggi. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan membaca tulisan yang memotivasi, mendengar lagu yang memotivasi, menonton film yang memotivasi, merenung secara positif, dan lain sebagainya.

Bentuk kecerdasan emosi lainnya yang diperlukan untuk menjadi orang tua yang baik adalah kemampuan untuk mengenali emosi orang lain, khususnya anak. Dalam hal ini yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati, bukan simpati. Dengan berempati, seseorang akan dapat mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain, namun tidak ikut terbawa memikul masalahnya. Sedang dengan simpati, ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan ikut terbawa memikul masalah yang dihadapinya orang lain tersebut, sehingga sulit lepas dari pikiran. Simpati tidak terlalu sehat, karena dapat membuat seseorang merasa bersalah bila tidak mampu menolong orang lain tersebut. Dalam dunia psikologi, orang yang demikian biasanya dikatakan menderita saviour syndrome, sindrom juruselamat. Individu dengan saviour syndrome umumnya ingin dan merasa bertanggung jawab atas kebaikan hampir semua orang yag ia kenal.

Bila diperhatikan, bentuk-bentuk kecerdasan emosi yang perlu dikuasai orang tua, semuanya bersifat aktif. Wajar saja, sebab emosi adalah penggerak. Akar kata emosi berasal dari kata Latin movere yang artinya bergerak. Jadi memang jelaslah bahwa emosi memang penggerak. Dibandingkan pikiran, emosi merupakan penggerak yang lebih kuat. Maka, tidaklah mengherankan bila Firman Tuhan memerintahkan untuk menjaga hati (emosi) dengan penuh kewaspadaan dan merujuk hal tersebut sebagai penentu jalan hidup (Amsal 4 : 23, Alkitab versi Bahasa Indonesia sehari-hari). Oleh karena itu, marilah kita sebagai orang tua terus berusaha menguasai emosi dengan meningkatkan kecerdasan emosi, agar dapat mendidik anak-anak kita dengan lebih baik.

 diadaptasi dari :busuremas.com

Senin, 08 September 2014

MENGELOLA KONFLIK MANTU-MERTUA


Julianto Simanjuntak 


#Usaha-usaha tanpa sadar untuk memelihara “kesetiaan tersembunyi” kepada keluarga asal dengan cara “menolak” pasangan mungkin menjadi dasar dari munculnya masalah-masalah seperti impotensi, ejakulasi dini, dan ketidakmampuan orgasme#
-------


Salah satu nasehat saya kepada mereka yang lagi membangun relasi pacaran adalah: “Kenalilah baik-baik calon mertuamu”. Ini hal yang sangat penting tetapi kerap diabaikan oleh mereka yang lagi pacaran. Konflik mantu-mertua adalah salah satu kasus terbesar di ruang konseling dan percakapan sehari-hari dengan mereka yang curhat soal masalah rumah tangga.

Lihatlah kutipan di atas, survei menemukan bahwa isu keluarga asal (relasi pasangan dengan ortunya), bisa menyebabkan masalah impotensi dan gangguan seksual lainnya. Singkat kata, jika Anda tidak menyiapkan diri, maka hubungan mantu-mertua bisa jadi sumber masalah atau bencana bagi diri dan keluargamu nanti.

Sebenarnya ini bisa dicegah bila rekan Muda mau belajar sejak dini, kenalilah calon mertua. Pahami hal-hal yang akan terjadi jika engkau menikah nanti sehubungan isu ini. Sebab banyak survei membuktikan bahwa harmonis tidaknya hubungan suami-isteri sangat dipengaruhi oleh keluarga asalnya. Terutama di awal pernikahan (0-2 tahun, Masa Young Love)

Keyakinan bahwa seseorang bisa secara total terpisah dari keluarga asalnya dan menjadi individu yang berdiri sendiri adalah keyakinan yang salah. Itu tidak mungkin. Hanya kematangan individu yang menikahlah akan membuat dia tahu kapan menyeimbangkan konflik kebutuhan, antara keluarga asal dan keluarganya sendiri.

Alasan Mertua dan Mantu tinggal serumah

Dalam masyarakat kita sudah umum menantu tinggal serumah dengan mertua. Jika serumah maka konflik tidak terhindarkan. Ada beberapa alasan kenapa Mertua dan Menantu tinggal serumah:

Pertama, pasangan yang baru menikah tidak memiliki cukup dana untuk mengontrak rumah/kamar.

Kedua, ayah atau ibu salah satu pasangan tinggal sendiri sehingga mertua terpaksa serumah dengan anak dan menantunya. Apalagi jika sang Ibu tersebut menderita sakit.

Ketiga, anak dan menantu membutuhkan kehadiran mertua untuk menjaga anak mereka (cucu).

Keempat, faktor budaya tertentu, mertua mewajibkan anak lakinya tinggal bersama orangtua.


Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya

Kesulitan-kesulitan perkawinan antara lain tidak memainkan peran suami/isteri dengan baik, ambiguitas peran, perang kekuatan, masalah komunikasi, dan harapan-harapan yang tidak terpenuhi. Di antara masalah-masalah ini, kesulitan komunikasi yang paling sering dijumpai.
Ada orang-orang yang benar-benar menjiplak-ulang pola keluarga asalnya yang berantakan. Di sisi lain ada juga yang datang dari latar belakang keluarga asalnya yang berantakan tetapi ternyata bisa membangun perkawinan yang baik.


Sebaliknya, ada juga orang-orang yang datang dari keluarga asal yang bagus (berfungsi dengan baik), namun perkawinannya sendiri berantakan.
Meskipun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa keluarga asal yang sehat cenderung melahirkan perkawinan-perkawinan yang sehat dan kuat.

Pengaruh Keluarga Asal


Pengaruh keluarga asal atas suatu perkawinan bisa bervariasi. Jika orangtua masih hidup, keterlibatan mereka bisa jelas terlihat terutama dalam perkawinan baru atau perkawinan yang sedang berlangsung. Mereka bisa saja memihak salah satu atau mengomentari cara mengasuh anak.

Dalam keluarga yang sehat, keluarga asal pasangan kita bisa menjadi pihak yang merekatkan hubungan, menyediakan dukungan emosi dan finansial sehingga perkawinan anda berfungsi lebih efisien. Namun, mertua anda bisa juga sangat merusak. Bahkan pada saat mereka tidak hadir secara fisik pun, pola-pola negatif yang didapatkan dari keluarga asal masing-masing tanpa bisa dihindari turut berinteraksi dalam keluarga dan perkawinan yang sedang berlangsung.

Penyebab Konflik


Salah satu sumber konflik adalah bedanya sistem nilai dan tradisi keluarga asal masing-masing. Misalnya, isteri datang dari keluarga asal yang menunjukkan kasih sayang melalui pemberian hadiah-hadiah yang bagus; sedangkan suami datang dari keluarga asal yang sama sekali tidak menggunakan hadiah sebagai sistem perhitungan mereka. Keluarga suami memperhatikan dengan cara saling menghargai dan memuji

Jika ada usaha-usaha tanpa sadar untuk memelihara “kesetiaan tersembunyi” kepada keluarga asal dengan cara “menolak” pasangan mungkin menjadi dasar dari munculnya masalah-masalah seperti impotensi, ejakulasi dini, dan ketidakmampuan orgasme.

Karena itu jika sampai terjadi maka perlu dihadapi dengan bijak. Sebab kalau dibiarkan, konflik dapat mengganggu harmonisasi relasi suami dan istri, dalam hal banyak hal: seks, komunikasi, perasaan tersaingi dan terabaikan, dan sebagainya. Pada tingkat yang lebih parah, dapat menyebabkan perceraian

Penyebab Konflik lainnya adalah: Adanya perbedaan budaya, menyangkut: penyesuaian nilai, peran, norma dan perilaku.Tuntutan hidup yang mendesak, seperti tekanan ekonomi. Kebutuhan pribadi dan orientasi nilai yang berbeda. 

Perbedaan kepribadian (temperamen dan cara pandang). Perbedaan Ideologi dan Iman. Terakhir adalah harga diri yang rendah (minder)

Jika konflik tidak bisa ditangani secara bijak dan dewasa seringkali melumpuhkan banyak hal. Antara lain, efektifitas dan produktifitas kerja. Kalau dibiarkan terus bisa menyebabkan stress hingga depresi.

Harmonisasi Hubungan Mertua-Mantu

Salah satu hal yang perlu anda lakukan adalah menyeimbangkan (mengharmoniskan) kesetiaan Anda sebagai anak kepada orang tua dan terhadap pasangan. Anda bisa rasakan tarik menarik ini setelah anda sendiri menjadi orang tua. Pendeknya, “kesetiaan tersembunyi” ini akan mempengaruhi cara Anda dalam berelasi dengan pasangan dan anak-anak.

Belajar mengembangkan sikap bahwa menantu adalah “anak sendiri” supaya mertua mampu menyayangi menantu. Di sisi lain, menantu merasakan bahwa dia diterima dalam keluarga besar suaminya. Dia merasa aman dengan perkawinannya. Menantu merasa terlindungi dan mampu mengembangkan diri dan berkreasi di dalam rumah tangganya karena sudah tidak ada perasaan takut, minder dan merasa orang asing.

Jika anda harus serumah, belajar bersikap dewasa dan jangan mau menang sendiri. Tumbuhkan sikap respek dan rasa percaya satu sama lain. Belajarlah fokus pada kelebihan mertua atau mantu Anda.

Jika sampai terjadi konflik dan ada kemarahan, kendalikan dengan baik emosi anda jangan sampai melukai. Serta miliki jiwa yang memaafkan saat luka tidak bisa dihindarkan. Cari bantuan konselor profesional bila konflik makin meruncing dan tidak bisa lagi diatasi berdua.

Penutup

Dalam pernikahan orang Timur, Mertua dan mantu adalah bagian dari paket pernikahan. Jika kita menikah dengan anaknya berarti harus menerima orangtuanya. Sangat tidak fair jika anda menerima anaknya tapi tidak menghormati orangtuanya.
Hubungan yang berhasil adalah pasangan itu menyadari bahwa mereka tidak dapat lepas dari konflik dan belajar secara dewasa menjalaninya. Tanpa menyalahkan atau mengkambinghitamkan siapapun.

Julianto Simanjuntak


Sumber: Len Sperry & J. Carlson. Marital Therapy,Love Publ Company, Colorado, 1991 dan 

Buku "ketrampilan perkawinan" (Julianto Simanjuntak

Minggu, 31 Agustus 2014

Praktek Menyumbang 60 Persen Memori Anak

Praktek Menyumbang 60 Persen Memori Anak

Ilustrasi (stock.xchg)

Jakarta, Psikologi Zone – Metode pengajaran untuk anak usia 1-6 tahun tidak cukup bila hanya melalui kata-kata, praktek langsung adalah salah cara yang efektif. Anak akan lebih cepat memahami bila mereka diberikan kesempatan untuk melakukan sendiri, sebab 60 persen ingatan anak berasal dari apa yang sudah ia lakukan.

Psikolog pendidikan anak usia dini, Novita Tandry, M.Psi mengatakan, memori anak dipengaruhi dari apa yang telah mereka lakukan, lihat dan dengar. Setiap porsi tersebut memiliki bobot sendiri dalam proses mengingat, paling besar adalah dari perbuatan sekitar 60 persen, sedangkan melihat 40 persen, dan mendengar hanya 30 persen.

“Yang paling bagus tentunya kalau ketiganya digabungkan. Melihat, mendengar sekaligus melakukannya sendiri akan membentuk 90 persen ingatan anak,” kata Novita dalam peresmian SGM Prestasi Center, Cilandak, Selasa (1/5).

Perlu bagi orang tua ataupun tenaga pendidikan usia dini untuk aktif memberikan stimulasi fisik agar perkembangan motorik kasar dan halus ikut berkembang. Melalui kegiatan aktif, anak tidak menjadi kutu buku yang hanya bisa melihat dan mendengar, namun juga mengaplikasikan.

Hal ini akan menjadi lebih efektif karena anak biasanya suka sekali bila diajak bermain. Mengenalkan aktivitas fisik sedini mungkin tidak hanya bermanfaat secara psikologis, namun juga kemampuan fisik dan juga keterbiasaan olahraga.

Stimulasi fisik tidak hanya terbatas pada aktivitas fisik saja, namun juga termasuk sentuhan fisik. Saat anak masih bayi, pijatan – pijatan lembut termasuk stimulasi fisik dan bermanfaat bagi perkembangan mental anak saat dewasa kelak.

“Kalau ada orang dewasa yang tidak romatis, tidak pernah memberi bunga pada pasangannya itu pasti waktu kecil kurang mendapat sentuhan. Makin sering diajak bersentuhan, anak-anak akan membentuk empati saat tumbuh dewasa,” kata lulusan University of New South Wales Australia ini. (dtk/mba)

www.psikologizone.com

Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini

Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini

Ilustrasi

Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau  lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung.

Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.

Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.

1.    Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

2.    Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.

3.    Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

4.    Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5.    Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Dari sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di sekolah maupun dirumah.

Bahkan belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya yaitu:

1.    Out of Law / Tidak taat aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah, dsb)

2.    Bad Habit / Kebiasaan jelek (misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.)

3.    Maladjustment / Penyimpangan perilaku

4.    Pause Playing Delay / Masa bermain yang tertunda

Perlu diketahui juga, awalnya banyak pendapat yang menyatakan keberhasilan anak dan pendidikan anak sangat tergantung pada IQ (intelligence quotient). Namun memasuki dekade 90-an pendapat itu mulai berubah. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa keberhasilan anak sangat tergantung pada kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang dimiliki. Jadi IQ bukanlah satu satunya yang mempengaruhi keberhasilan anak, masih ada emotional intelligence yang juga perlu diperhatikan.

Ini adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasaan, dan mengatur suasana hati.

Dari berbagai penjelasan diatas, tentu banyak sekali tugas kita sebagai orangtua dalam mendidik anak kita baik mulai dari masa kecil mereka maupun hingga besar nantinya. Semua adalah tanggung jawab yang mulia, sebagaimana anak adalah karunia dan titipan tuhan kepada kita. Maka dari itu kita lah yang harus merawat dan memperhatikan perkembangan mereka, dan akhirnya kita pula yang akan tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka. Marilah kita memulai belajar mengenali dan mendidik anak mulai dari sekarang.

wow.psikologizone.com



Belajar Memaafkan, Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik

Belajar Memaafkan, Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik

Ilustrasi (marcandangel)

Menurut Mayo Clinic, memaafkan atau memberi ampunan akan terasa baik bagi kesehatan Anda.

Dendam muncul untuk mempengaruhi sistem kardiovaskular dan saraf. Dalam sebuah penelitian, orang yang fokus pada dendam pribadi, memiliki tekanan darah dan detak jantung, dan peningkatan ketegangan otot. Hal ini ditambah dengan perasaan menjadi kurang terkendali. Ketika seseorang berhasil memaafkan orang yang telah menyakiti mereka, banyak dari mereka yang mengatakan merasa lebih positif dan santai. Penelitian lain menunjukkan bahwa memaafkan memiliki efek positif pada kesehatan psikologis anda.

Memaafkan bukan berarti melupakan, memaafkan itu melepaskan apa pun yang telah terjadi. Ini memang sakit, namun masalah itu akan pergi jika anda melepaskannya. Lepas bersama beban amarah dan kebencian.

Tidak ada pendekatan tunggal untuk belajar bagaimana memaafkan seseorang. Berbicara dengan teman, terapis atau penasihat (agama) dapat membantu proses untuk memilah-milah perasaan dan tetap di jalur yang benar. Sebuah tips atau cara untuk belajar memaafkan seperti yang ditulis oleh Mayo Clinic Women’s HealthSource dalam Science Daily, adalah.

  1. Akuilah rasa sakit dan kemarahan yang anda rasakan sebagai akibat dari tindakan orang lain pada anda.
  2. Mengakui bahwa untuk lepas dari sakit hati itu butuh perubahan.
  3. Cobalah untuk berpikir tentang orang yang menyakiti anda. Apa yang membuat ia melakukan itu? Kadang-kadang ada motivasi atau sebab yang membuat peristiwa menyakitkan itu terjadi pada Anda. Bagi sebagian orang, langkah ini diakhiri dengan berkata, “Aku memaafkanmu.”
  4. Ketika Anda berhasil melakukan dan melepaskan, ada kelegaan emosional yang datang bersamaan dengan pemaafan (www.psikologizone.com)